Panen Mayat
Halaman 1 dari 1
Panen Mayat
Celathu Butet
BULAN ini, Indonesia panen mayat. Setidaknya begitulah yang mencuat dalam beberapa pemberitaan di berbagai media massa. Ada mayat normal, maksudnya meninggal secara wajar sebagaimana jamaknya manusia yang - jika Tuhan menghendaki — memang harus tidur abadi. Ada pula mayat abnormal. Matinya tidak konvesional. Maksudnya, berubah status menjadi ”mantan manusia” karena kecelakaan atau dicelakai. Misalnya, dicelakai perampok yang sangat bengis. Atau dirajang-rajang jadi korban mutilasi oleh partner homoseks.
Di luar itu semua, ada manusia Indonesia yang terpaksa jadi mayat atas kehendak negara. Itulah orang-orang yang pada masa lalu menunaikan kejahatan dengan memanjakan kebengisan sehingga diganjar hukuman mati. Dan, sial, baru belakangan ini mereka dieksekusi, setelah menjalani hukuman penjara bertahun-tahun. Dalam istilah Bu Sumiarsih dan Sugeng, terpidana mati yang juga barusan menyetorkan nyawa di hadapan regu tembak, ”Kami kena hukuman ganda. Dipenjara dan kemudian dihukum mati.”
Mendengar semua itu, Mas Celathu iba. Sedih hatinya. Ingin sekali rasanya dia menyetip pasal-pasal galak yang mengambil alih tugas Tuhan itu. Bukankah nyawa manusia monopoli Tuhan dan hanya Tuhan pula yang punya hak prerogratif untuk
mengambil kembali? Yang boleh menghentikan hidup hanyalah Yang Mencipta Kehidupan. Bukan yang dihidupi atau yang sekadar numpang hidup.
”Huuuhh, sampean sok humanis. Orang jahat kok dibela? Coba, mbok diingat betapa kejam mereka dulu. Ditagih utang kok nesu, terus mateni. Berani utang ya harus berani melunasi tagihan. Bukan malah ngamuk. Bayangkan tuh perasaan keluarga korban. Bagi mereka, mungkin hukuman mati pun masih nggak sebanding,” kata Mbakyu Celathu bagai berondongan mercon menanggapi gerundelan Mas Celathu.
Ada benarnya. Mas Celathu nggak berani ngeyel. Dia menyadari, soal hukuman mati memang masih jadi kontroversi. Ada yang setuju. Ada yang menolak. Tapi jika memang itu bagian dari sistem hukum yang digunakan negeri ini, ya mau apa? Paling pol Mas Celathu hanya berani menggerundel. Meminta supaya pasal hukuman mati diamandemen, barangkali membutuhkan proses waktu yang panjaaaaang. Entah kapan pasal itu bakal sirna, lalu diganti pasal yang lebih manusiawi. Bukan pasal dendam: utang nyawa dibayar nyawa.
Mati Bicara
Mas Celathu benar-benar masygul. Jika setiap vonis hukuman mati diandaikan untuk melahirkan efek jera, nyatanya pasal itu tidak mujarab untuk mencegah kelahiran pembunuh-pembunuh berikutnya. Sudah ratusan terpidana mati dieksekusi, masih juga orang mengulang kejahatan yang sama: membunuh dan membunuh. Membunuh secara langsung dengan main tikam, carok, tusuk, dan jerat leher. Atau membunuh secara pengecut sebagaimana makhluk yang mengotaki pembunuhan pejuang HAM Munir, atau seperti yang dilakukan para ”teroris” yang hobi menyulut bom.
Malah ada lo, orang membunuh sambil mengoleksi deposito. Siapa? Tuh para koruptor! Tindakan mereka menjarah harta bangsa dan negara bisa dikategorikan pembunuhan berencana, karena jelas-jelas dengan sistematik dan terencana bakal mematikan kehidupan rakyat.
”Jadi sampean tetap akan membela para pembunuh itu?” ujar Mbakyu Celathu ketus.
”Bukan membela. Cuma lagi mikir, apa nggak ada cara lain menghukum pembunuh keji itu selain dengan mencabut nyawa?” jawab Mas Celathu berhati-hati. Nada suaranya lirih, tidak seperti biasanya. Suasananya jadi hening. Yang bergemuruh adalah isi kepalanya. Pikiran positif dan negatifnya sedang bertempur. Mas Celathu mengernyitkan kening dan membatin, ”Jika hakikat hukuman mati adalah hilangnya hak untuk hidup, mungkinkah hak hidup ditiadakan tanpa harus disertai hilangnya nyawa?”
Pasangan suami-istri itu terdiam. Sama-sama bengong, mati angin. Sontak mendakak suasana sepi terpecahkan jeritan Mas Celathu. ”Eureka, eureka...!!!” sorak Mas Celathu tiba-tiba yang artinya, ”Sudah kutemukan!” Dia melompat kegirangan seperti Archimedes saat menemukan dalil fisikanya. Untung, Mas Celathu tidak gondhal-gandhul telanjang sambil berlari-lari seperti filsuf dan fisikawan Yunani yang termahsyur itu. Melihat kejadian itu, Mbakyu Celathu njenggirat hampir nggeblak. Dia terkaget-kaget melihat ulah sang suami yang lunjak-lunjak kegirangan.
”Ini benar-benar ide brilian sebagai pengganti hukuman mati. Sangat ’berbudaya’, tapi tidak mematikan. Terpidana akan tetap hidup, meskipun sesungguhnya mati. Mati dalam hidup,” ujar Mas Celathu masih terengah-engah saking girangnya.
”La iya, apa itu?”
Lalu Mas Celathu mencerocos menjelaskan idenya. Terpidana mati cukup dipenjara seumur hidup dan diberi bonus hukuman berupa sakit sariawan sepanjang hidup. Biarlah ceruk-ceruk sariawan itu ngendon permanen di lidah, bibir, dan langit-langit mulutnya. Jika sariawan mau hilang, maka sipir penjara harus lekas-lekas kasih olesan hasil eksperimen apoteker yang justru menyuburkan kemunculan sariawan baru. Pokoknya dari hari ke hari sang terpidana akan merasakan kepahitan hidup: susah bicara, sulit mengunyah, dan senut-senut merasakan perihnya sariawan yang tak mungkin hilang. Sepanjang hidup si terpidana hanya akan sibuk dengan sariawan, tak sempat lagi membangun martabat dan kehormatan sebagai seorang manusia. Itulah hukuman final yang paling ampuh. Lebih ”manusiawi” ketimbang menembak mati.
Dengan begitu, menurut pendapat Mas Celathu, kita tak perlu berdosa dengan menjadi Yamadipati sang pencabut nyawa. Terpidana mati dibiarkan bernyawa, padahal sebenarnya telah dimatikan secara ”sopan”. Mati bicara. Mati rasa. (53)
BULAN ini, Indonesia panen mayat. Setidaknya begitulah yang mencuat dalam beberapa pemberitaan di berbagai media massa. Ada mayat normal, maksudnya meninggal secara wajar sebagaimana jamaknya manusia yang - jika Tuhan menghendaki — memang harus tidur abadi. Ada pula mayat abnormal. Matinya tidak konvesional. Maksudnya, berubah status menjadi ”mantan manusia” karena kecelakaan atau dicelakai. Misalnya, dicelakai perampok yang sangat bengis. Atau dirajang-rajang jadi korban mutilasi oleh partner homoseks.
Di luar itu semua, ada manusia Indonesia yang terpaksa jadi mayat atas kehendak negara. Itulah orang-orang yang pada masa lalu menunaikan kejahatan dengan memanjakan kebengisan sehingga diganjar hukuman mati. Dan, sial, baru belakangan ini mereka dieksekusi, setelah menjalani hukuman penjara bertahun-tahun. Dalam istilah Bu Sumiarsih dan Sugeng, terpidana mati yang juga barusan menyetorkan nyawa di hadapan regu tembak, ”Kami kena hukuman ganda. Dipenjara dan kemudian dihukum mati.”
Mendengar semua itu, Mas Celathu iba. Sedih hatinya. Ingin sekali rasanya dia menyetip pasal-pasal galak yang mengambil alih tugas Tuhan itu. Bukankah nyawa manusia monopoli Tuhan dan hanya Tuhan pula yang punya hak prerogratif untuk
mengambil kembali? Yang boleh menghentikan hidup hanyalah Yang Mencipta Kehidupan. Bukan yang dihidupi atau yang sekadar numpang hidup.
”Huuuhh, sampean sok humanis. Orang jahat kok dibela? Coba, mbok diingat betapa kejam mereka dulu. Ditagih utang kok nesu, terus mateni. Berani utang ya harus berani melunasi tagihan. Bukan malah ngamuk. Bayangkan tuh perasaan keluarga korban. Bagi mereka, mungkin hukuman mati pun masih nggak sebanding,” kata Mbakyu Celathu bagai berondongan mercon menanggapi gerundelan Mas Celathu.
Ada benarnya. Mas Celathu nggak berani ngeyel. Dia menyadari, soal hukuman mati memang masih jadi kontroversi. Ada yang setuju. Ada yang menolak. Tapi jika memang itu bagian dari sistem hukum yang digunakan negeri ini, ya mau apa? Paling pol Mas Celathu hanya berani menggerundel. Meminta supaya pasal hukuman mati diamandemen, barangkali membutuhkan proses waktu yang panjaaaaang. Entah kapan pasal itu bakal sirna, lalu diganti pasal yang lebih manusiawi. Bukan pasal dendam: utang nyawa dibayar nyawa.
Mati Bicara
Mas Celathu benar-benar masygul. Jika setiap vonis hukuman mati diandaikan untuk melahirkan efek jera, nyatanya pasal itu tidak mujarab untuk mencegah kelahiran pembunuh-pembunuh berikutnya. Sudah ratusan terpidana mati dieksekusi, masih juga orang mengulang kejahatan yang sama: membunuh dan membunuh. Membunuh secara langsung dengan main tikam, carok, tusuk, dan jerat leher. Atau membunuh secara pengecut sebagaimana makhluk yang mengotaki pembunuhan pejuang HAM Munir, atau seperti yang dilakukan para ”teroris” yang hobi menyulut bom.
Malah ada lo, orang membunuh sambil mengoleksi deposito. Siapa? Tuh para koruptor! Tindakan mereka menjarah harta bangsa dan negara bisa dikategorikan pembunuhan berencana, karena jelas-jelas dengan sistematik dan terencana bakal mematikan kehidupan rakyat.
”Jadi sampean tetap akan membela para pembunuh itu?” ujar Mbakyu Celathu ketus.
”Bukan membela. Cuma lagi mikir, apa nggak ada cara lain menghukum pembunuh keji itu selain dengan mencabut nyawa?” jawab Mas Celathu berhati-hati. Nada suaranya lirih, tidak seperti biasanya. Suasananya jadi hening. Yang bergemuruh adalah isi kepalanya. Pikiran positif dan negatifnya sedang bertempur. Mas Celathu mengernyitkan kening dan membatin, ”Jika hakikat hukuman mati adalah hilangnya hak untuk hidup, mungkinkah hak hidup ditiadakan tanpa harus disertai hilangnya nyawa?”
Pasangan suami-istri itu terdiam. Sama-sama bengong, mati angin. Sontak mendakak suasana sepi terpecahkan jeritan Mas Celathu. ”Eureka, eureka...!!!” sorak Mas Celathu tiba-tiba yang artinya, ”Sudah kutemukan!” Dia melompat kegirangan seperti Archimedes saat menemukan dalil fisikanya. Untung, Mas Celathu tidak gondhal-gandhul telanjang sambil berlari-lari seperti filsuf dan fisikawan Yunani yang termahsyur itu. Melihat kejadian itu, Mbakyu Celathu njenggirat hampir nggeblak. Dia terkaget-kaget melihat ulah sang suami yang lunjak-lunjak kegirangan.
”Ini benar-benar ide brilian sebagai pengganti hukuman mati. Sangat ’berbudaya’, tapi tidak mematikan. Terpidana akan tetap hidup, meskipun sesungguhnya mati. Mati dalam hidup,” ujar Mas Celathu masih terengah-engah saking girangnya.
”La iya, apa itu?”
Lalu Mas Celathu mencerocos menjelaskan idenya. Terpidana mati cukup dipenjara seumur hidup dan diberi bonus hukuman berupa sakit sariawan sepanjang hidup. Biarlah ceruk-ceruk sariawan itu ngendon permanen di lidah, bibir, dan langit-langit mulutnya. Jika sariawan mau hilang, maka sipir penjara harus lekas-lekas kasih olesan hasil eksperimen apoteker yang justru menyuburkan kemunculan sariawan baru. Pokoknya dari hari ke hari sang terpidana akan merasakan kepahitan hidup: susah bicara, sulit mengunyah, dan senut-senut merasakan perihnya sariawan yang tak mungkin hilang. Sepanjang hidup si terpidana hanya akan sibuk dengan sariawan, tak sempat lagi membangun martabat dan kehormatan sebagai seorang manusia. Itulah hukuman final yang paling ampuh. Lebih ”manusiawi” ketimbang menembak mati.
Dengan begitu, menurut pendapat Mas Celathu, kita tak perlu berdosa dengan menjadi Yamadipati sang pencabut nyawa. Terpidana mati dibiarkan bernyawa, padahal sebenarnya telah dimatikan secara ”sopan”. Mati bicara. Mati rasa. (53)
Similar topics
» Ealah....Dikira Mayat Dalam Karung Ternyata 'Asu'
» Cari Wisatawan Hilang, SAR Temukan Mayat Tak Dikenal
» Buang air di Kali Serayu, Warga Purbalingga Temukan Mayat
» Tersangka Pencuri Mayat di Cilacap Mengamuk di Rumah Sakit
» Dirjen PLA Panen Perdana Padi SRI
» Cari Wisatawan Hilang, SAR Temukan Mayat Tak Dikenal
» Buang air di Kali Serayu, Warga Purbalingga Temukan Mayat
» Tersangka Pencuri Mayat di Cilacap Mengamuk di Rumah Sakit
» Dirjen PLA Panen Perdana Padi SRI
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik